Mengintip Kekerasan Sexual dan Bullying di Ruang Maya

Publish by Humas  |  23 November 2021  |  9516

all

Digitalisasi sangat naik setelah tahun 2010, dimana teknologi yang digunakan evolusinya sangat eksponansial. Dengan berkembangnya digitalisasi ini, grafik kejahatan dari tahun ke tahun semakin tinggi. Dikarenakan ada efek yang membuat orang melakukan kejahatan di dunia maya yang rasanya seperti tidak terdeteksi, padahal setiap jejak digital kita selalu terekam. Godaan dunia maya cukup besar terutama pada kalangan anak kecil sampai remaja, yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Dampak yang ditimbulkan dari dunia maya antara lain, kecanduan (pornografi, game dan online shopping) perundungan, polarisasi, konsumtif, dan impulsif. Pilihan menjadi suatu hal yang penting bagi kita untuk memilih mana yang baik dan yang tidak baik. Pada tahun 2020, terjadi kasus kekerasan seksual di ranah cyber sebanyak 329 kasus, tercatat peningkatan sebesar 840% dibandingkan tahun 2019 yakni 35 kasus. Walaupun ada UU ITE, tetapi tidak menjamin pelaku kejahatan seksual tersebut mendapatkan hukuman. Karena ada banyak cara untuk menghindari Undang-Undang tersebut, bukan karena tidak terlacak IP addressnya. Karakteristik kekerasan seksual cyber yaitu aksesnya lebih mudah, merasa lebih mudah ‘menyembunyikan’, kaum muda merasa tak berdaya, ancaman untuk membagikan gambar seksual korban, menekan korban untuk menuruti permintaan ‘layanan’ secara online, dan korban merasa tidak sadar. Karena banyaknya korban kekerasan seksual pada anak-anak dan remaja, maka UNICEF memberikan banyak panduan khusus. Cyberbullying merupakan tindakan agresif yang dilakukan secara sengaja oleh sekelompok atau individu lewat medium kontak elektronik kepada korban yang  tidak memiliki kemampuan membela diri. Bersumber dari microsoft.com, diketahui tingkat kesopanan netizen Indonesia paling buruk se-asia pasifik. Hal ini menunjukan bahwa tanpa kita sadari cyberbullying sudah sering kita lakukan. Ada berbagai bentuk cyberbullying diantaranya yaitu, tindakan berbentuk umpatan, membagikan konten dengan tujuan mencemarkan nama baik, spamming, memposting konten bersifat seksual (dalam bentuk gambar atau video), merampas atau menyebarkan informasi yang bersifat pribadi, mengucilkan seseorang di dalam ruang obrolan tertentu, dan mencuri uang atau data dari korban, hal ini berdampak dari perundungan cyber yang sering ditemukan yaitu penurunan harga diri, depresi, sampai yang paling parah yaitu bunuh diri. Upaya mencegah terjadinya cyberbulling ataupun kekerasan seksual di sekitar kita ada 4 peran yang bisa kita lakukan. Pertama yaitu peran sebagai orang tua dengan membatasi screen time, membangun komunikasi, membekali pengetahuan batas dari penggunaan, peka dan waspada. Kedua yaitu peran guru dengan pendidikan literasi digital dan godaannya, membuka jalur pelaporan/konseling, dan memberikan bantuan pertolongan awal. Ketiga peran pemerintah dengan mengatur regulasi, penciptaan infrastruktur digital aman & nyaman, dan edukasi. Dan yang terakhir adalah peran individu dengan berhati-hati dalam tutur dan laku, menggunakan internet dengan positif dan bertanggung jawab, dan cari bantuan/berikan pertolongan.Setiap permasalahan yang dialami individu pasti akan ada jalan keluarnya, proses individu dalam mencari jalan keluar dan mengeksekusinya dapat diartikan sebagai proses coping. Coping merupakan bagaimana suatu individu dapat menyelesaikan masalahnya dan tidak larut ke dalam masalahnya. Ada 2 bentuk coping, yaitu problem focused coping dan emoticon focused coping. Problem focused coping merupakan mengambil langkah untuk menghadapi masalah secara langsung, mengkoreksi atau menghilangkan masalah, proaktif untuk menghindarkan masalah yang sama di kemudian hari. Sedangkan emoticon focused coping merupakan bentuk coping yang berfokus pada pengelolaan stress dan emosi  dalam diri individu, bisa dalam bentuk menghadapi ataupun menghindari.

Peran orangtua, guru, pemerintah dan diri sendiri sangat penting dalam mencegah terjadinya cyberbullying

(C) Marketing-PR/Agnes Yamasitha